Penulis: Hotbonar Sinaga
Anggota Dewan Pembina Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Masyarakat Ekonomi Syari’ah(MES)
Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko & Asuransi (STIMRA)

Dimuat di harian Bisnis Indonesia kolom OPINI edisi Kamis 15 Agustus 2019

 

Melalui akun Twitternya, Amien Sunaryadi yang mantan Pimpinan KPK menulis bahwa salah satu jenis korupsi yang di rumuskan dalam UU adalah SUAP. Jenis korupsi yang paling banyak dan sering terjadi di lapangan adalah SUAP. Hingga saat ini jenis korupsi yang paling sering dan berhasil diungkap KPK adalah, sekali lagi SUAP. Suap atau istilah lainnya gratifikasi menciptakan benturan kepentingan dan kita semua tahu Benturan kepentingan adalah biang keroknya korupsi (judul opini Penulis di Koran Bisnis Indonesia tertanggal 9 Agustus 2017).

Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 6 Agustus 2018, Koran Bisnis Indonesia juga memuat opini Penulis berjudul “Budaya Anti Korupsi”. Dalam tulisan tersebut dikemukakan pentingnya menciptakan “Control Environment” di perusahaan atau institusi sebagai salah satu cara pencegahan penyimpangan, entah itu “Fraud” ataupun “Korupsi” dlsb. Penulis juga menyatakan pentingnya “Tone at the Top” sehingga sang Pimpinan dapat dijadikan “Role Model” bagi seluruh jajaran di bawahnya yang menunjukkan keteladanan plus komitmen terhadap kepatuhan serta anti penyimpangan. Perusahaan jangan hanya mengadakan acara seremonial penandatanganan “Pakta Integritas” tapi yang lebih nyata adalah tindakan tegas terhadap setiap penyelewengan awal sejak kerugian yang ditimbulkan masih minor. Institusi juga harus menyediakan mekanisme atau saluran untuk melaporkan setiap pelanggaran plus “Reward” untuk yang melaporkan, “Whistle Blowing System”.

Tulisan ini mengupas sisi lain dari kejadian berulang, korupsi atau suap menyuap bahkan yang terakhir penyuapan dari pejabat BUMN untuk Pejabat BUMN lainnya. Oknum pejabat kedua BUMN itu telah menunjukkan sinergi dalam keburukan, suatu hal yang patut diberantas.

 

Pecegahan Korupsi Yang Efektif
Korupsi termasuk suap pada faktanya tidak memandang tempat dan waktu. Setiap saat dan dimanapun serta oleh siapapun dapat saja terjadi walaupun upaya pencegahan sudah diupayakan. Korupsi bersifat invividual, dalam arti sangat tergantung pada personil yang memiliki kewenangan atau Power tertentu, apakah kewenangan strategis ataupun operasional. Kita semua memaklumi bahwa “Power tends to corrupt”. Adanya kewenangan dapat menimbulkan penyimpangan bila tidak dapat menahan godaan ataupun pengaruh dari luar yang menciptakan potensi benturan kepentingan. Pengalaman Penulis dalam kurun waktu 5 tahun 2007-2012, sewaktu masih memimpin BUMN dengan total kekayaan melebihi Rp. 100 Trilyun, menunjukkan banyak pihak yang mencoba melakukan “pendekatan” supaya mendapatkan “Privilege” tertentu. Saat itu, melakukan korupsi bagi Penulis semudah membalikkan tangan. Namun, Penulis tidak pernah melakukannya karena beberapa faktor yang bersifat “Individual”. Contoh faktual adalah dalam implementasi investasi. Betapa mudahnya memperoleh “komisi”, balas jasa, uang terimakasih atau apapun namanya dalam hal pembelian efek baik saham, obligasi ataupun MTN dsb dengan jumlah yang begitu menggoda bila kita lemah iman. Contoh lain dalam proses pengadaan teknologi informasi dengan nilai kotrak mendekati Rp. 100 Milyar.

Namun, sebagai Direktur Utama, Penulis tidak pernah melibatkan diri dan berusaha menghindari setiap potensi benturan kepentingan. Alinea awal tulisan ini, mengingatkan siapapun yang punya kewenangan untuk tidak melakukan korupsi dari aspek ketentuan perundangan. Tulisan ini mencoba mnengingatkan dari sudut pandang spiritual dan konsekwensi yang harus dipikul. Beberapa alasan atau pertimbangan mengapa Penulis mengambil sikap pantang korupsi :

  • Pertama adalah ajaran agama yang dianut, melarang untuk mengambil sesuatu, apapun bentuknya, yang bukan haknya. Ini berkaitan dengan teguh atau lemahnya “IMAN” seseorang.
  • Kedua pesan dari orang tua yang adalah seorang pegawai negeri sipil setara dengan eselon III untuk kondisi sekarang, jangan melakukan korupsi.
  • Ketiga, pesan dari keluarga di rumah, khususnya pasangan kita, jangan melakukan korupsi, ingat akibatnya, betapa malunya keluarga kalau kita di ekspose di media. Ikuti selalu perintah Tuhan dan jauhi larangannya.
  • Keempat, pesan dari seorang pengusaha yang mengangkat Penulis ke dalam bisnis perasuransian yang mewajibkan seluruh pegawai yang bekerja untuk perusahaannya menandatangani “Statement Of Conflict Of Interest” disertai dengan sanksi hukumnya.
  • Kelima, ancaman hukuman selain sanksi sosial, juga sesuai ketentuan perundangan, sehingga TAKUT untuk melakukan korupsi. Untuk masalah ini sebaiknya Legislator mengambil sikap lebih tegas dengan merevisi UU Tipikor yakni memperberat sanksi hukuman dan variasinya termasuk hukuman kerja sosial, bahkan sampai hukuman tambahan mengembalikan dana yang dikorup. Miskinkanlah koruptor !

Semua pesan di atas menyebabkan kita akan berpikir ribuan kali sebelum bertindak. Omong kosong kalau kita tidak bisa membedakan mana yang baik dan benar serta mana yang buruk dan salah. Secara teori, melaksanakan prinsip itikad baik memang akan mencegah kita melakukan penyimpangan. Yang terpenting dari semuanya itu adalah faktor INTEGRITAS yang sekali lagi penulis tekankan, sangat individual. Integritas akan menjadi komitmen setiap orang dengan catatan selalu mengingat setiap pesan maupun akibat seperti yang dikemukakan di atas.

Kepada semua insan yang ber-Integritas, selamat mengingat “Warning” di atas, Penulis yakin tidak sulit dan untuk dipraktikkan dan dilaksanakan. Yang terpenting adalah “Nawaitu” atau niat baik untuk tidak melakukan penyimpangan, korupsi sekecil apapun.

 

Jakarta, Agustus 2019
hotbonar@indo.net.id
Direktur Utama Jamsostek 2007-2012