Penulis: Mas Achmad Daniri
Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance

 

 

Negara Indonesia merupakan negara agraris yang terdiri dari desa-desa. Oleh karena itu membangun Indonesia akan lebih strategis jika dimulai dari desa. Saat ini kebijakan pembangunan justru menciptakan insentif menarik orang desa berurbanisasi ke kota. Kebijakan yang seharusnya dibangun adalah menarik orang kota (berikut modal dan keahliannya) untuk membangun desa, sehingga terjadi pemerataan pembangunan. Kebijakan Pemerintah saat ini masih berjalan sendiri-sendiri, belum dilaksanakan secara terpadu, misal kebijakan Dana Desa yang dikelola berlandaskan prinsip governansi yang baik, akan meningkatkan nilai tambah jika diintegrasikan dengan kebijakan laku pandai OJK yang dimodifikasi menjadi agen pembaharuan di Desa. Demikian juga program-program pembangunan desa, baik yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Daerah maupun program CSR perusahaan akan mendapatkan nilai tambah jika dikembangkan melalui pendekatan CSV.

Tanggung jawab sosial dan lingkungan (SR) adalah bentuk kesadaran dari pelaku pembangunan, bahwa setiap kegiatan sedikit banyaknya memberikan dampak sosial dan lingkungan baik positif maupun negatif. Disinilah nilai-nilai kepedulian muncul untuk mengedepankan tanggung jawab sosial dan lingkungan, bahkan sejatinya SR dikerjakan sebelum dampak itu timbul. Dari sekian kajian SR yang terdokumentasi secara apik, masih tersisa pertanyaan apakah secara holistik SR yang dijalankan telah terintegrasi dengan value chain kegiatan para pelaku pembangunan atau hanya menjadi program yang berada di pinggiran kegiatan utamanya. Hal inilah yang kemudian dilihat oleh Michael E. Porter dan Mark R. Kramer dari Harvard Business School, untuk memunculkan pendekatan konsep CSV dalam melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. CSV bisa menjadi solusi sebagai konsep yang integratif, dan mendukung keberlanjutan tanpa menempatkan tanggung jawab sosial dan lingkungan hanya sebagai beban.

Creating Share Value (CSV) didefinisikan sebagai suatu kebijakan operasional meningkatkan nilai kompetitif sekaligus secara bersamaan memajukan kondisi sosial dan ekonomi (Porter and Kramer, 2011). CSV dipahami sebagai penyelamat eksistensi kapitalisme, dimana mendistorsi pemahaman banyak pihak tentang kapitalisme bahwa dalam memperoleh manfaat atau keuntungan bisnis, pada umumnya mengorbankan kepentingan masyarakat. CSV merupakan konsep untuk menyelesaikan permasalahan sosial, sekaligus memperoleh manfaat ekonomi, menarik minat banyak peneliti terkemuka (Daud & Menghwar, 2019).

Wóijck (2016) memberikan penjelasan yang membedakan CSR dengan CSV. CSR berperan dalam berbagi nilai ekonomi yang memang dibuat untuk membentuk nilai sosial, sementara CSV adalah proses perubahan hubungan antara outcome dan input perusahaan yang menghasilkan social value, dengan kata lain membentuk economic value melalui social value. CSV mengubah paradigma berpikir mengenai peran CSR dalam perspektif yang lebih komprehensif.

Dalam praktik di Indonesia sudah ada perusahaan yang menerapkan CSV, namun belum menyadari apa yang mereka lakukan adalah bagian dari CSV. CSV dapat dijelaskan sebagai proses reformulasi value chain perusahaan. Dalam aktivitas bisnis, selain memberikan output bagi perusahaan, sekaligus juga memberikan output bagi masyarakat dan lingkungan, sehingga tercapai upaya tumbuh dan berkembang bersama. CSV mengubah paradigma SR yang selama ini dilakukan banyak pihak. CSV bergerak dalam kerangka value chain, sementara SR berada di ujung value chain. SR sampai saat ini masih dipahami sebagai respon atas dampak negatif operasional kegiatan para pihak. Misal untuk mencegah reaksi negatif masyarakat atas kegiatan yang menimbulkan polusi, maka perusahaan menyediakan layanan kesehatan gratis bagi masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik. Pertanyaannya, apakah dengan pelayanan kesehatan ini, perusahaan memberikan solusi tuntas kepada masyarakat yang sudah terlanjur menghirup udara kotor? Alangkah lebih baik jika pelaku bisnis melakukan terobosan proses produksi yang lebih ramah sekaligus melibatkan peran serta masyarakat, dengan cara menggalang penghijauan di sekitar pabrik.

CSV lebih menegaskan peran tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan, sehingga akan mampu menangkap permasalahan yang terjadi pada setiap elemen proses bisnis. Artinya, social responsilibility bukanlah reaksi atas dampak, namun upaya proaktif, bahwa tanggung jawab perusahaan bukan hanya terletak pada pasca dampak tetapi sejak aktivitas bisnis dimulai. Artinya, keberadaan perusahaan di satu wilayah memberikan dampak positif yang tidak terbatas pada bantuan sosial semata, namun mengupayakan setiap tahapan proses bisnis menghasilkan nilai tambah bersama.

CSV meng-up grade konsep CSR dan menjadi rujukan dalam mengarahkan bagaimana seharusnya investasi dilakukan. CSR sering terfokus pada reputasi, dengan pendekatan donasi, maka sifatnya relatif berada di luar value chain perusahaan. Akibatnya, CSR memiliki konektivitas yang terbatas dengan proses bisnis. Situasi ini mengakibatkan CSR berpotensi terputus di tengah jalan, karena semua bergantung pada alokasi anggaran yang disediakan perusahaan. Sebaliknya, CSV, merupakan bagian terintegrasi dengan value chain, dan dapat mempengaruhi profitabilitas perusahaan. CSV memanfaatkan keunikan sumber daya perusahaan untuk menghasilkan economic value melalui pendekatan social value.

Sebagai contoh dalam konteks yang lebih luas, CSV dapat menjadi sarana efektif untuk mengatasi sistem ijon.  Petani kopi merasa tenang berbudidaya, karena saat panen sudah memiliki pasar yang jelas dengan harga yang kompetitif. Untuk memastikan petani terus meningkatkan kapasitasnya, maka perusahaan dapat bekerjasama dengan lembaga riset yang kompeten. Petani semakin pintar, dan kopi yang dihasilkan semakin berkualitas. Pendekatan CSV juga akan menjadikan pertanian kopi lebih ramah lingkungan.

Perubahan adalah sebuah keniscayaan dan tidak bisa dibendung. Perubahan seringkali terjadi di luar prediksi dan mengubah situasi secara radikal (disruption). Perkembangan teknologi menjadi pemicu terjadinya disruption. Bagi yang tidak memiliki kesiapan untuk mengantisipasi perubahan, akan tergerus. Contohnya adalah pengusaha transportasi yang harus bersaing dengan kehadiran angkutan berbasis layanan online. Kehadiran penyedia jasa angkutan online seperti GoJek dan Grab akhirnya telah menggeser eksistensi angkutan umum konvensional seperti angkot ataupun ojek mangkal. Perubahan yang dihadirkan oleh angkutan berbasis online ini begitu cepat mengubah landscape bisnis, sehingga bisa dikategorikan sebagai disruption.

CSV mengantisipasi perubahan hingga pada tahap yang ekstrem sekalipun. perusahaan dipastikan mengikuti proses demi proses sehingga dapat mengetahui perkembangan yang terjadi yang dapat mengakibatkan perusahaan menjadi responsif terhadap setiap perubahan. Menerapkan CSV, berarti membuat perusahaan melakukan strategi jemput bola, melalui alih pengetahuan kepada komunitas. Ketika komunitas berkembang, akan memberikan nilai tambah kepada setiap pemangku kepentingan, khususnya dalam peningkatan kualitas. Kesadaran inovasi inilah yang menjadi early warning system ketika terjadi perubahan yang berpotensi mendisrupsi ekosistem bisnis.

CSV telah merubah cara pandang banyak pihak, untuk tumbuh bersama dengan stakeholder dalam menghadapi perubahan. Karena itu, muncul kebutuhan para pihak untuk menyusun strategi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan melalui pendekatan CSV. CSV mampu menstimulus gelombang inovasi berikutnya, dan ini membuat para pihak menjadi lebih adaptif terhadap perubahan. Secara makro, pendekatan konsep CSV juga bisa digunakan Pemerintah Pusat dan Daerah, perusahaan dan institusi lain dalam memberdayakan masyarakat. Misal kebijakan Dana Desa bisa diintegrasikan dengan kebijakan laku pandai OJK yang dimodifikasi menjadi agen pembaharuan di Desa melalui pendekatan CSV.